Ikatan Aqidah dan Ukhuwah Lebih Kuat Dari Ikatan Darah

Oleh Adi Victoria, Aktivis Pejuang Khilafah
Bersaudara tak mesti sedarah…
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yg benar adalah atas dasar ukhuwah islamiyyah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yg kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yg menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yg lebih indah dari persaudaraan karena Allah?

Apa yang salah dariku?

Hembusan angin pagi menerpa tirai kamar seorang gadis. Duduk termenung diatas kasurnya, berpikir keras bagaimana ia menghadapi kawannya yang marah padanya. Zainab...namanya Zainab, ia baru saja membuat marah temannya. Hal yang dibingungkan zainab, mengapa kawannya marah? apa karena nada bicara zainaab yang keras? atau salah dalam perilaku zainab.

Karena berpisah lebih baik

Siang itu sangat panas, terik matahari menyilaukan setiap mata yang mendongak ke atas. Di kursi panjang di taman kota Jasmine duduk manis dengan sebuah buku di tangannya. Ya, dia sedang membaca kisah-kisah sahabat Nabi Salallahu alaihi wasallam, tepat lembar setelahnya tertera nama seorang sahabat Nabi, Salman Al-Farisi.

NUSYUZ SUAMI


       Sebuah pernikahan dibangun untuk membangun keluarga yang berbarokah. Diantara suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan. Tetapi sebuah pernikahan tidaklah luput dari sebuah perselisihan, faktor perselisihan terkadang muncul dari istri maupun suami.

ما حدث بنا؟

Kata-kata bahwa setiap hidup ini penuh lika-liku memang sering kita dengar, tapi terkadang kita lupa ketika tikungan tajam itu dihadapan, setiap manusia memiliki keistimewaan dan kekurangan tetapi jangan kita berpaling dari keistimewaan dan terus melihat kekurangan.
Sebuah kekurangan akan menjadi sebuah keistimewaan bagi orang lain, bagaimana bisa?? karena dengan kekurangan itu keistimewaan orang lain terlihat, dan menutup sisi kekurangannya..
So...jangan pernah menilai orang dari satu sisi satu kacamata, lihatlah bahwa dia memiliki hal lain yang tak kita miliki dan mampu kita miliki..
Kekurangan orang atau kelebihan orang bukan alasan untuk selalu menyematkan kelebihan dan kekurangan kepadanya , karena kesalahan bukan 100% kepadanya...
Bukankah lebih baik kita menjunjung kelebihannya dan memperbaiki kekurangannya..?? Bersambung...

TUNGGU AKU, UKHTI…

Dari Rajâ` bin ‘Umar an-Nakha’iy, dia berkata,
“Di Kufah ada seorang pemuda berparas tampan, sangat rajin beribadah dan sungguh-sungguh. Dia juga termasuk salah seorang Ahli Zuhud. Suatu ketika, dia singgah beberapa waktu di perkampungan kaum Nukha’ lalu –tanpa sengaja- matanya melihat seorang wanita muda mereka yang berparas elok nan rupawan.

Kata-katamu adalah ujian bagimu

Entah dari mana aku mendapatkan nasehat bahwa setiap kata yang kita ucapkan akan diujikan kepada diri kita, setiap manusia pasti mempunyai prinsip masing-masing setiap liku kehidupannya akan ia jalani berdasarkan prinsipnya.
Terkadang tanpa rasa sadar kita mengucapkan sebuah kalimat yang ringan tentang prinsip kita di kala itu.

Dari budak menjadi ulama

‘ATHA’ BIN ABI RABBAH
Beliau adalah Syaikhul Islam, ulama tabi’in yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Seorang mufti Masjidil Haram yang tsiqah dan ahli manasik haji. Nama asli beliau ialah Abu Muhammad ‘Atha bin Abi Rabah Aslam bin Shafwan, kunyahnya Abu Muhammad Al-Makki. Beliau berasal dari desa Al-Janad di negeri Yaman dan lahir di masa kekhalifahan Utsman Bin Affan.

Jangan Meletakkan Bola Dunia di Atas Kepala!





Beberapa orang merasa bahwa diri mereka terlibat dalam perang dunia, padahal mereka sedang berada di atas tempat tidur. Tatkala perang itu usai, yang mereka peroleb adalah luka di pencernaan mereka, tekanan darah ringgi dan penyakit aula.

Syaikhnya Para Qari'



Beliau adalah seorang ulama besar tabi’in dalam bidang ilmu qira’ah (bacaan) dan tafsir. Salah satu murid Ibnu Abbas yang sangat terkenal sehingga menjadi rujukan ilmu tafsir di zamannya, ia mantan seorang budak. Terdapat perbedaan tentang siapa tuannya. Muhammad bin 'Ubaid berkata, dari Sufyan Ats Tsauri, ia berkata, "Mujahid adalah mantan budak Bani Zuhroh."

Sadar akan tugas awal




Manusia diciptakan Allah dengan sebaik-baik penciptaan sebagaimana telah dijelaskan dalam surat at-Tiin, tidak hanya itu saja Allah memerintahkan para malaikat sujud pada manusia pertama.. Adam..
Sungguh Allah memuliakan manusia, penciptaan manusia bukan sekedar penciptaan yang sia-sia, bukan pula menciptakan manusia hanya untuk menghuni bumi ini dan menikmati segala apa yang ada..
Allah menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepadaNya, menabung amal pahala untuk kembali lagi ke tempat asalnya, kembali kepada pemiliknya yaitu Allah,,,

7 Kebiasaan Sehat Yang Di Lakukan Sebelum Tidur



 
     
Membiasakan hidup sehat hari ini akan berdampak nyata pada kesehatan tubuh di masa mendatang. Bagi mereka yang terbiasa mempraktekkan gaya hidup sehat dalam kesehariannya, tentu memiliki tubuh yang lebih sehat serta stamina yang kuat. Rajin berolahraga, mengkonsumsi makanan yang sehat serta mencukupi waktu tidur malam merupakan gaya hidup sehat yang utama. Khusus untuk tidur malam, ada berbagai kebiasaan sehat yang bisa anda lakukan sebelum berangkat tidur. Lalu, apa saja kebiasaan sehat sebelum berangkat tidur tersebut...???.

TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN ANAK

Akhir-akhir ini tindakan kejahatan mulai merebak di sekitar masyarakat. Berita tentang tawuran antar pelajar, pelecehan seksual, pembunuhan, dan pencurian kian menjadi menu berita sehari-hari. Bersamaan dengan itu semua, teknologi berkembang pesat berbagai macam dan jenis alat-alat teknologi bermunculan,seperti handphone touchsreen, berbagai model dan merek laptop ataupun netbook.

Sebuah pensil

Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat.
“Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku?”
Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya,
“Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai. Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti”, ujar si nenek lagi.Mendengar jawaban ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai.
“Tapi nek, sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya”, Ujar si cucu.
Si nenek kemudian menjawab,
“Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini. Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini”,
Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.
pertama:
pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya Allah, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya”.
kedua:
dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik”.
ketiga:
pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar”.
keempat:
bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu”.
kelima:
sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan…
Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan tinggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan”
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini


Menjamak shalat ketika hujan

Menjamak shalat adalah menggabungkan salah satu diantara dua sholat dengan sholat yang lainnya. Menjamak shalat termasuk  salah satu keringanan dalam syariat islam  yang dilaksanakan  karena ada sebab. Jumhur ulama memperbolehkan menjamak shalat karena hujan.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya,…’’(HR. Muslim no. 705)
 Hadits diatas menunjukkan bahwa Nabi Sallahu ‘alaihi wasallam pernah menjamak shalat ketika hujan dan menunjukkan bahwa hal tersebut sudah  dikenal ketika masa Nabi . Adapun ketentuan diperbolehkan menjamak shalat ketika hujan , sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Utsaimin bahwa hujan yang membolehkan menjamak adalah hujan yang dapat membasahi baju karena derasnya, jika hujan hanya berupa gerimis yang tidak membasahi baju maka tidak dikenankan untuk menjamak.  
Diperbolehkan juga menjamak shalat dikarenakan tanah yang berlumpur, udara yang sangat dingin dan angin yang kencang karena terdapat kesulitan didalamnya (memberatkan menunaikan shalat di masjid). Menjamaknya harus dilaksanakan di masjid dengan berjama’ah, bukan di rumah. Apabila di rumah tidak dibolehkan menjamak karena hujan karena syariat ini dibangun karena adanya kesusahan dan lebih diutamakan menjamaknya dengan jamak taqdim.
Bagaimana jika hujan berhenti di tengah-tengah shalat isya yang kita jamak?
Bolehnya menjamak shalat karena hujan atau udzur lainnya dengan syarat udzur tersebut tetap ada hingga shalat yang kedua, apabila sebelum melaksanakan shalat kedua udzur hilang maka tidak dibolehkan menjamak shalat.
Dan sebagai muslimah sejati selayaknya ketika ingin menjamak shalat maka harus lebih teliti terhadap sebabnya, jangan malah meremehkannya. Wallahu a’lam bish showwab
Referensi:
Syarh al-Mumti’ ‘ala Zadi al-Mustaqni’, Syaikh Utsaimin ,  jilid.2 , hal.198-199,206
Shahih Muslim bisyarhi An-Nawawi, Imam An-Nawawi, jilid.4 Hal. 219


Fiqih Islam wa Adilatihu, Dr. Wahbah Zuhaili, jilid. 2, hal. 351, 353

keranaku sahabatmu


Urunan qurban dengan non-muslim

Mendekati hari raya idhul adha sering muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai qurban salah satunya mengenai urunan qurban dengan non muslim, kita semua telah ketahui bahwa hendaknya bagi seorang muslim yang mampu untuk berkurban baik kambing, sapi atau onta.

TALAK KETIKA HAID


A.    Pendahuluan
Talak merupakan salah satu syariat Allah. Pelaksanaan talak tidak bisa serampangan begitu saja, Allah telah mengatur segala yang berkaitan dengan talak. Salah satu bentuk kasih sayang Allah terhadap hambaNya adalah menetapkan waktu talak sesuai keadaan seorang hamba. Suatu masalah muncul ketika seorang istri tengah mengalami haid kemudian suami menceraikannya, kita ketahui bersama bahwa wanita ketika haid keadaannya sedang labil. Maka penulis memaparkan dalam makalah ini apa pandangan islam tentang talak ketika istri haid, diperbolehkan atau tidak.
B.     Definisi
Ibnu Hajar mendefinisikan talak secara bahasa adalah melepas ikatan, dan secara syar’i talak adalah melepaskan ikatan pernikahan.[1]
Adapun secara istilah talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan lafadz talak atau semisalnya atau menghilangkan ikatan pernikahan baik keadaan (ketika talak ba’in) atau harta (ketika selesai iddah talak raj’i) dengan lafadz khusus.[2]
Sedangkan haid secara bahasa adalah aliran sedangkan secara istilah haid adalah darah yang keluar dalam keadaan sehat dari pangkal rahim wanita tanpa sebab persalinan, sakit, dalam waktu tertentu.[3]
C.     Masyru’iyah talak
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.(Q.S. Ath-Thalaq: 1).
Hadits riwayat Umar bin Khattab berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ طَلَّقَ حَفْصَةَ ، ثُمَّ رَاجَعَهَا
Bahwa Rasulullah telah menceraikan Hafshoh kemudian merujuknya kembali.”(H.R. Ibnu Majah, no 2016).
D.    Macam talak
Ibnu Katsir menjelaskan, “Para ulama berkata bahwa talak yang sesuai sunnah adalah mentalak istrinya ketika suci dari haid sebelum digauli, atau istri hamil yang jelas kehamilannya. Adapun talak bid’ah adalah mentalak istri ketika haid atau suci tetapi telah digauli, dan tidak diketahui hamil atau tidak. Adapun yang ketiga adalah talak yang tidak termasuk sunnah atau bid’ah yaitu mentalak istri yang masih kecil, istri yang telah menopause dan istri yang belum digauli.[4]
Abdul Malik Kamal dalam kitabnya Shahih Fiqih Sunnah memperinci sebagai berikut:
1.      Talak sunnah
Definisi sunnah disini bukanlah talak yang disunnahkan tetapi talak yang sesuai syariat dalam pelaksanaannya.adapun talak sunnah yaitu:
a.       Talak ketika istri dalam keadaan suci atau nifas sebelum digauli.
b.      Talak ketika istri yang telah jelas kehamilannya.
c.       Talak ketika istri tidak dalam keadaan haid.
2.      Talak bid’ah
Talak bid’ah yaitu talak yang menyelisihi syariat. Seperti mentalak istri ketika haid atau suci tetapi telah digauli karenanya tidak diketahui istrinya hamil atau tidak, mentalak dengan talak tiga dalam satu ungkapan atau tiga ungkapan.[5]
E.     Talak ketika istri haid
Adapun talak dalam keadaan haid merupakan talak yang diharamkan ulama sepakat akan keharamannya. Ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya talak atau tidak, berikut rinciannya:
a.       Jatuhnya talak
Inilah pendapat ahli ilmu dan ulama empat mazhab[6] berdasarkan hadits Ibnu Umar yang mentalak istrinya dalam haid kemudian Umar bin Khattab bertanya kepada Rasulullah , kemudian Rasulullah bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan ia merujuknya kemudian jauhkan istrinya hingga suci kemudian haid kemdian suci lagi, kemudian jika ia menghendaki untuk merujuknya maka rujuklah, jika ia menghendaki talak maka talaklah sebelum ia sentuh. Sesungguhnya itu iddah yang diperintahkan Allah ketika wanita ditalak.”(H.R. Bukhari dan Muslim)[7]
Adapun rujuk tidak akan terjadi kecuali setelah jatuhnya talak.
b.      Tidak jatuh talak
Inilah pendapat Thawus, Ikrimah, Muhammad bin Ishaq dan ahli Dhahir: Dawud, Ibnu Hazm, dan ini pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim[8]
Dalil mereka berdasarkan hadits dari Abu Zabir bahwa ia telah mendengar Abdurrahman bin Aiman maula Urwah bertanya kepada Ibnu Umar:” Bagaimana pendapatmu jika terdapat laki-laki yang mentalak istrinya yang haid?”, Ibnu Umar menjawab:”Ibnu mar pernah mentalak istrinya yang haid di masa Rasulullah kemudian Umar bertanya pada Rasulullah :” Bahwa Abdullah bin Umar telah mentalak istrinya yang haid.” Maka Abdullah bin Umar berkata:”Kemudian ia kembali kepada istri dan terlihat seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Dan berkata:”Apabila istri telah suci maka talaklah atau rujuklah.”(H.R. Abu Dawud, no. 2185)[9]
F.      Rujuk ketika talak dalam keadaan haid
Ketika seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid maka suami dianjurkan untuk merujuknya, dan menunggu hingga suci kemudian haid kemudian suci lagi, di masa ini sebelum digauli suami boleh memilih antara mentalak atau mempertahankan istri.
Adapun rujuk ketika talak dalam keadaan haid ulama berbeda pendapat dalam kewajibannya[10], diantaranya:
1.      Malik dan pengikutnya, salah satu pendapat yang masyhur di kalangan  Ahmad, penulis Al-Hidayah dari kalangan Hanafiyah mewajibkan rujuk tersebut.
2.       Rujuknya sunnah inilah pendapat Syafi’I, al-Auza’i, Abu Hanifah, Ahlu Kuffah, Ahmad, dan ulama hadits.
G.    Hikmah diharamkannya talak ketika istri sedang haid
Telah dipaparkan diatas bahwa ulama sepakat bahwa seorang suami diharamkan talak ketika istri sedang haid apabila telah terjadi dianjurkan untuk rujuk, dibalik keharamannya dan perintah rujuk terdapat hikmah yang terkandung, diantaranya:
1.      Ditakutkan istri hamil, dan terjadi penyesalan bagi suaminya atau keduanya. Kehamilan istri dapat menimbulkan kebahagiaan keluarga setelah adanya perpecahan.[11]
2.      Menjaga mental seorang wanita, karena wanita dalam keadaan haid emosinya labil, Allah menganjurkan suami ketika mentalak istrinya di waktu-waktu istri dapat menghadapi iddah dengan wajar, berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.(Q.S. Ath-Thalaq: 1)
3.      Perintah rujuk ini mengandung hikmah agar iddah seorang wanita tidak terlalu panjang.
Adapun konsekuensi dari perbedaan pendapat tentang jatuhnya talak atau tidak, jika talak ketika istri dalam keadaan haid terhitung satu talak maka kesempatan suami hanya tersisa satu talak raj’i yang dapat dirujuk, dan apabila talak ketika istri haid ternyata adalah talak ketiga maka ketika maka talak menjadi ba’in selesai masa iddah istri telah halal dinikahi orang lain.[12] Dan sebaliknya ketika talak tidak terhitung jika talak tersebut adalah talak ketiga maka suami merujuknya dan tidak halal orang lain menikahi istrinya hingga suci kedua setelah suami memutuskan akan menceraikannya.Wallahu A’lam bish Shawwab
H.    Penutup
1.      Kesimpulan
Kesimpulan dari pemaparan diatas bahwa talak ketika istri dalam keadaan haid diharamkan, dan jatuhnya talak walau terdapat perintah rujuk, hal ini dikarenakan agar manusia tidak mempermainkan kata talak. Adapun perintah rujuk adalah sunnah kembali kepada keputusan suami, jika ia telah matang keputusannya maka tidak perlu merujuknya, jika belum maka ia dapat merujuknya dan memulai kembali rumah tangga yang hampir runtuh.  
2.      Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, tak ada gading yang tak retak. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan yang terdapat dalam penulisan atau pemaparan. Berharap pembaca memberikan saran yang membangun makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisy Syarhi Shahih Bukhari, (Qahirah: Darul Hadits, 2004), jilid. 9
Abu Malik Kamal bin Sayyid as-Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002), jilid. 3
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, cet. ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), jilid 1
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim, (ttp: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t ), jilid. 8
Syamsudin as-Sirkhosi, Al-Mabsuth, (Beirut: Darul Ma’rifah,t.t), jilid. 6
 Abu Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Lidardiri, Asy-Syarhu as-Shaghir, (Qahirah: Darul Ma’arif, t.t), jilid. 2
 Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Hiraqi, (Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub, t.t), jilid.10, hlm. 337.
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa LiIbnu Taimiyah, (Qahirah: Darul Hadits, 2006), jilid. 17
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, cet. Ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1997), jilid. 2
Imam an-Nawawi, Shahih Muslim bisy Syarhi Imam an-Nawawi, cet. Ke-4, (Qahirah: Darul Hadits, 2001), jilid. 5
 Imam asy-Syaukani, Nailul Authar,(Qahirah: Darul Hadits, 2005), jilid. 3
Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Basam, Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, cet. Ke-1,(Riyadh: Darul Maiman, 2005), jilid. 2





[1] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisy Syarhi Shahih Bukhari, (Qahirah: Darul Hadits, 2004), jilid. 9, hlm. 396
[2] Abu Malik Kamal bin Sayyid as-Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002), jilid. 3, hlm. 232
[3] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, cet. ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), jilid 1, hlm. 610
[4] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim, (ttp: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t ), jilid. 8, hlm. 114
[5] Abu Malik Kamal bin Sayyid as-Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002), jilid. 3, hlm. 296
[6] Ibid. Syamsudin as-Sirkhosi, Al-Mabsuth, (Beirut: Darul Ma’rifah,t.t), jilid. 6, hlm. 57. Abu Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Lidardiri, Asy-Syarhu as-Shaghir, (Qahirah: Darul Ma’arif, t.t), jilid. 2, hlm. 538. Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Hiraqi, (Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub, t.t), jilid.10, hlm. 337.
[7] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisy Syarhi Shahih Bukhari, (Qahirah: Darul Hadits, 2004), jilid. 9, hlm. 397
[8] Abu Malik Kamal bin Sayyid as-Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002), jilid. 3, hlm. 298, Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa LiIbnu Taimiyah, (Qahirah: Darul Hadits, 2006), jilid. 17, hlm. 63
[9] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, cet. Ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1997), jilid. 2, hlm.441
[10] Imam an-Nawawi, Shahih Muslim bisy Syarhi Imam an-Nawawi, cet. Ke-4, (Qahirah: Darul Hadits, 2001), jilid. 5, hlm. 323. Imam asy-Syaukani, Nailul Authar,(Qahirah: Darul Hadits, 2005), jilid. 3, hlm. 612
[11] Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Basam, Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, cet. Ke-1,(Riyadh: Darul Maiman, 2005), jilid. 2, hlm. 250
[12] Syamsudin as-Sirkhosi, Al-Mabsuth, (Beirut: Darul Ma’rifah,t.t), jilid. 6, hlm. 57
HUKUM BERTEPUK TANGAN
Kebiasaan bertepuk tangan telah menjadi hal yang lumrah, baik di acara pesta, pertemuan besar bahkan di sekolah. Adapun tentang bertepuk tangan termasuk perbuatan jahiliyah, berangkat dari firman Allah:
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
Tidaklah shalat mereka (orang Jahiliyah) di sisi Ka’bah melainkan dengan bersiul dan bertepuk tangan.” (QS. Al Anfal : 35)
Syaikh Ibnu Utsaimin ketika ditanya mengenai hukum bertepuk tangan dan bersiul dalam pesta beliau menjawab bahwa bertepuk tangan dan bersiul merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh golongan selain muslim.
Imam Ash-Shan’ani juga berkata, “Adapun menari dan bertepuk tangan merupakan perbuatan ahli kefasikan.”
Hukum bertepuk tangan terbagi menjadi dua:
a.       Bertepuk tangan di dalam shalat.
Bertepuk tangan di dalam shalat hanya diperbolehkan bagi wanita ketika menegur imam yang keliru, terlarang bagi laki-laki sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
Barangsiapa menjadi makmum, lalu ia merasa ada kekeliruan (imam) dalam shalatnya, maka hendaklah ia bertasbih, karena sesungguhnya jika dibacakan tasbih, imam akan memperhatikannya, sedangkan tepukan untuk wanita.” (HR. Bukhari).
b.      Bertepuk tangan ketika di luar shalat.
Syaikh Ibnu Baz menerangkan bahwa hukum bertepuk tangan adalah makruh, karena termasuk perbuatan jahiliyah dan kekhususan bagi wanita. Adapun tepuk tangan digunakan sebagai sarana pembangkit semangat maka diperbolehkan, hal ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak, sedangkan bagi orang dewasa maka tidak diperbolehkan.
Berdasarkan penjelasan Syaikh Ar-Ramli ketika ditanya mengenai tepuk tangan diluar shalat, beliau mengatakan bahwa tepuk tangan diharamkan apabila bertujuan menyerupai wanita dan dimakruhkan jika tidak bermaksud.
Pilihan terbaik ialah meninggalkan kebiasaan ini, dan bertakbir apabila melihat hal yang menakjubkan bukan malah tepuk tangan, sebagaimana nasehat Syaikh Abdullah Al-Bassam beliau mengatakan:
“...kepada semua kaum muslimin agar mereka membiasakan takbir ketika ada sesuatu yang mengagumkan, dan itulah sunah Nabi mereka, bukan dengan bertepuk tangan yang merupakan budaya musuh-musuh kita yang memasuki budaya kita, khususnya dalam acara pertemuan-pertemuan.”
Referensi :
1.      Fatwa-fatwa terkini, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dkk, jil.1 hlm. 635 dan jil. 2 hlm. 117
2.      Subulus salam, As-Shan’ani, jil.3, hlm. 207
3.      Syaikh Abdullah Alu Al-Bassam, Taisir Al-‘Alam Syarh ‘Umdatil Ahkam 382
4.      Nihayatul muhtaj ilaa syarhi Minhaj, Syaikh Abu Abbas Ahmad bin Hamzah ar-Ramli, jil. 2, hlm. 54