Oleh Adi
Victoria, Aktivis Pejuang Khilafah
Bersaudara
tak mesti sedarah…
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yg benar adalah atas dasar ukhuwah islamiyyah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yg kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yg menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yg lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yg benar adalah atas dasar ukhuwah islamiyyah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yg kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yg menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yg lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
”sebuas-buasnya
harimau tak akan makan anak sendiri.” mungkin kita sudah tidak asing dengan pepatah di
atas. Sang raja hutan yang terkenal buas yakni harimau tidak akan memakan
anaknya sendiri, bahkan dia akan rela mati-matian untuk melindungi anaknya
sendiri. Hal ini seolah menunjukan betapa kuatnya ikatan biologis dari harimau
dan anaknya tersebut.
Pun demikian
hal nya dengan manusia. Kedua orang tua tentu akan melindungi dan mendidik buah
hati mereka agar menjadi manusia yang berguna bagi manusia sekitarnya. Hal ini
karena adanya ikatan yang mengikat diantara mereka, yakni ikatan darah, atau
ikatan biologis.
Namun,
ikatan tersebut bukanlah ikatan yang kuat. Bukanlah ikatan yang sempurna.
Bagaimana kita bisa melihat fakta di masyarakat banyaknya anak yang tidak lagi
menurut kepada keyakinan orang tuanya ketika dia berpindah keyakinan.
Dalam sirah
nabawiyah pun kita bisa melihat bagaimana sahabat yang lebih memilih Islam
sebagai aqidah yang mengikat diri mereka, daripada keluarga, meskipun keluarga
mereka sendiri bersumpah akan memutuskan silaturahim tali keluarga!
Lihatlah
bagaimana sosok mus’ab bin umar sang muqarri’ madinah, yang lebih memilih Islam
daripada keluarga nya. Ia rela hijrah ke Madinah, menjadi duta Rasulullah saw
untuk menyampaikan risalah Islam di kota tersebut.
Mush’ab bin
Umair bukan sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai
pemuda dambaan kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda ganteng yang dikenal
sangat perlente. Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera menjadi magnet
pemikat semua orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya dan
keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah
samasekali.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi. Adapun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda : “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi. Adapun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda : “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Atau kita
bisa melihat bagaimana kuatnya ikatan yang mengikat antar masing-masing sahabat
Nabi Muhammad saw. Lihatlah bagaimana meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab
dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan
Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal
mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku,
bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Itulah ukhuwah Islamiyyah yang
terpancar dari ikatan aqidah.
Jagalah
Ukhuwah Wahai Para Ikhwah
Namun
memang, ada hal yang bisa merusak dan memperlamah ikatan aqidah itu sendiri
yakni hilangnya rasa ukhuwah di antara para ikhwah. Hal ini bisa karena faktor
urusan personal ataupun hal tehnis. Namun sejatinya, ketika seseorang memahami
makna dari sebuah ikatan aqidah itu sendiri maka sejatinya ia faham bahwa
ukhuwah merupakan satu diantara pilar-pilar yang memperkokoh ikatan aqidah itu
sendiri. Terkadang kita menyaksikan para ikhwah yang saling caci ataupun cerca
ketika berdiskusi, yang tadi nya ingin mencari kebenaran maka beralih untuk
mencari pembenaran akan pendapat masing-masing.
Dalam
diskusi tentang dakwah, berdiskusi dengan harokah dakwah lain. Apakah kita
telah berdiskusi secara ahsan? Apakah kita telah berdiskusi dalam rangka
mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran? Apakah diskusi yang kita lakukan
tidak dalam membuka aib lawan diskusi kita karena telah kalah hujjah?
Sebagaimana kata seorang ikhwah :
“ketidakmilikan
hujjah seseorang dalam berdiskusi, maka orang tersebut akan akan menyerang dari
sisi selain hujjah lawan diskusinya”
Atau tatkala
kita membuka aib saudara kita sesama muslim hanya karena faktor ketidaksukaan
kita kepadanya. Na’udzubillahi mindzalik.
Ingatlah
sabda Nabi kita Muhammad saw: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya
kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya,
hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu
hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka
akan diambil menurut penganiayannya, dan jika tidak mempunyai hasanat
(kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk
ditanggungkan kepadanya.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a].
Hadist
diatas menggambarkan kepada kita, bahwa tatkala kita tidak meminta maaf kepada
orang yang kita rasa pernah kita sakiti,baik secara fisik maupun non fisik
(kata-kata),maka wajiblah kita untuk meminta maaf. Jika tidak, maka kelak semua
amal shalih kita akan diambil untuk menghilangkan dosa dari menganiaya tersebut
sesuai kadarnya, dan jika kita tidak punya sama sekali amal shalih atau
kebaikan, maka kita akan mendapatkan tambahan kejahatan dari orang yang kita
aniaya tersebut, sehingga semakin membertakan timbangan dosa kita di yaumul
mizan kelak, yakni hari dimana dilakukan pertimbangan amal baik dan buruk.
Semua orang
tentu mempunyai aib. Dan tentu pula ia tidak mau orang lain tahu akan aib yang
dimiliki. Bisa dibayangkan jika orang tersebut aibnya dibuka oleh orang lain,
diceritakan dibelakang dia, atau semisal ditayangkan di televise sebagaimana
hiburan infotainment di TV. Padahal Allah SWT menyuruh kita untuk menutupi aib
saudara kita sendiri.
“Barang
siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Allah
akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan
urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan
akhirat. Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup
aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba, selama hamba itu
senantiasa menolong saudaranya. Barang siapa menempuh perjalanan untuk mencari
ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga. Tidaklah suatu
kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Kitabullah dan
mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketenteraman,
rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah memuji mereka di hadapan (para
malaikat) yang berada di sisi-Nya. Barang siapa amalnya lambat, maka tidak akan
disempurnakan oleh kemuliaan nasabnya.” (HR Muslim)
Maka,
berfikirlah sebelum berkata, berfikirlah sebelum berbuat. Bayangkan bahwa dia
adalah kita. Posisikan kita sebagai dia. Posisikan kita yang aibnya di buka
ataupun perasaannya di sakiti tatkala kita melontarkan perkataan atau kalimat
yang itu membuat hati menjadi tersakiti.
Bagi para
hamilud dakwah, berdakwahlah dengan cara yang makruf. Bukan hanya berusaha
menjaga perasaan hati para mad’u kita, namun juga menjaga perasaan saudara kita
walaupun berbeda harokah dakwah. Berfikirlah sebelum berkata, dan berfikirlah
sebelum berbuat.
Dalam sebuah
riwayat yangdiketengahkan oleh Imam at-Tirmidzi dijelaskan bahwa kunci untuk
meraih keluhuran jiwa adalah menjaga lisan. Mu’adz ra berkata, Saya bertanya
kepada Rasulullah,
“Wahai
Rasulullah beritahukan kepada saya amal perbuatan yang dapat memasukkan saya ke
dalam sorga dan menjauhkan dari neraka?” Beliau bersabda: “Kamu benar-benar
menanyakansesuatu yang sangat besar. Sesungguhnya hal itu sangat mudah bagi
orang yang dimudahkan oleh Allah SWT, yaitu: Hendaklah kamu menyembah kepada
Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatuapapun, mendirikansholat,
membayar zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bila kamu
mampu menempuh perjalanannya.”
Selanjutnya,
beliau bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu
adalah perisai, shadaqah dapat menghilangkan dosa seperti halnya air memadamkan
api, dan sholat seseorang pada tengah malam.” Beliau lantas membaca ayat yang
artinya, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada
Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, serta mereka menafkahkan sebagian
rizki yang telah Kamiberikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa
yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyenangkan pandangan
mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Lalu, beliau
bertanya kembali, “Maukah engkau aku tunjukkan pokok dan tiang dari segala
sesuatu dan puncak keluhuran?” Saya berkata, “Baiklah ya Rasulullah.”
Rasulullah Saw berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.”
Rasulullah Saw berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.”
Kemudian
beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkantentang kunci dari kesemuanya itu?”
Saya menjawab, “Tentu ya Rasulullah.”
Beliau
lantas memegang lidahnya seraya berkata, “Peliharalah ini.” Saya berkata, “Ya
Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?” Beliau
bersabda “Celaka kamu, bukankah wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak
lain karena akibat lidah mereka?” [HR. at-Tirmidzi].
Mengambil
Ibrah Dari Sahabat Rasulullah saw
Dahulu, dua
sahabat Rasulullah saw. pernah bertengkar keras. Abu Dzar al-Ghifari ra.
pun sampai kelepasan menyebut Bilal ra. sebagai anak si hitam. Ketika
Rasulullah saw. menegurnya dengan keras, barulah Abu Dzar ra. menyesal bukan
kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah dan minta Bilal ra. menginjak
wajahnya asalkan ia bisa memaafkannya. Pada akhirnya Bilal ra. tak pernah
menginjak wajah saudaranya, dan cerita itu berakhir dengan bahagia.
Hal-hal yang kita anggap konyol, tidak perlu, tidak etis, tidak profesional dan
tidak pantas dilakukan oleh para aktifis dakwah pun pernah terjadi pada
generasi sahabat Rasulullah saw. Ingatkah bagaimana Nabi Musa as.
dikuasai oleh amarah kepada kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun
as.? Demikianlah amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwwah yang
sudah dibangun lama menjadi rusak. Efeknya bahkan bisa menjadi permanen
bila tidak segera ditanggulangi.
Sudahkah
Anda mendengar kisah pertengkaran dua orang sahabat paling mulia, yaitu Abu
Bakar ra. dan ‘Umar ra.? Suatu hari Abu Bakar ra. datang kepada
Rasulullah saw. dan langsung duduk merapat dengannya. Ia bercerita bahwa
antara dirinya dan ‘Umar ra. baru saja terjadi pertengkaran. Ia terlanjur
marah dan kemudian menyesal.
Permintaan
maafnya ditolak oleh ‘Umar ra., maka Abu Bakar ra. pun mengadu pada Rasulullah
saw. Beliau menenangkan Abu Bakar ra. dengan mengatakan bahwa Allah telah
mengampuninya. Setelah Abu Bakar ra. pergi, datanglah ‘Umar ra. menemui
Rasulullah saw. yang saat itu sedang menyimpan amarah sehingga nampak jelas
pada wajahnya. Beginilah ucapan Rasulullah saw. saat itu: “Sesungguhnya
Allah mengutus aku kepada kalian, dan kalian mengatakan ‘Kamu pendusta’, sedangkan
Abu Bakar mengatakan ‘Dia orang yang jujur’, dan dia mengorbankan diri dan
hartanya!” Sadarlah ‘Umar ra. akan kesalahannya karena telah
memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling dicintai Rasulullah
saw. Setelah itu, Abu Bakar ra. tak pernah disakiti lagi.
“Sesungguhnya
orang2 mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu,damaikanlah diantara kedua
saudaramu dan bertaqwalah kpd Allah agar km mendapat Rahmat.”(T.Q.S Al hujurat
49:10)
Wallahu
A’lam bis showab.
referensi: https://amininoorm.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar