NUSYUZ SUAMI


       Sebuah pernikahan dibangun untuk membangun keluarga yang berbarokah. Diantara suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan. Tetapi sebuah pernikahan tidaklah luput dari sebuah perselisihan, faktor perselisihan terkadang muncul dari istri maupun suami.
Dalam islam kedurhakaan istri disebut nusyuz, apabila seorang istri berbuat nusyuz maka diperintahkan bagi suami menasehatinya kemudian mendiamkannya kemudian memukulnya jika hal itu diperlukan. Tidak jarang kita dengar juga bahwa banyak dari suami yang melakukan kedholiman terhadap istri, maka bagaimana islam memandang hal ini? Berangkat dari pertanyaan tersebut maka penulis dalam makalah ini memaparkan mengenai nusyuznya seorang suami.
2.        PENGERTIAN
       Nusyuz secara bahasa berasal dari kata نَشَزَ- يَنْشُزُ- نَشْزًا- وَنُشُوْزًا  yaitu tempat yang tinggi[1] atau sesuatu yang menonjol didalam dan dari tempat yang tinggi.[2] Adapun kebalikan dari  nusyuz yaitu apa-apa yang diangkat dari tempatnya dengan rasa takut.[3] Adapun secara istilah  nusyuz adalah perselisihan yang terjadi antara pasangan suami istri dalam membina rumah tangga sehingga menimbulkan kemarahan dan kebencian pada keduanya serta pergaulan yang tidak harmonis.[4] Nusyuz disebut juga syiqaq atau perpecahan.
Adapun makna nusyuz suami menurut ulama adalah sebagai berikut:
Al-Kalbi dalam Tafsir Al-Lubab menjelaskan bahwa nusyuz seorang suami terhadap istri adalah tidak mengauli istri, memukul wajahnya, jarang menemaninya.[5]
Syaikh As-Syinqithi mendefinisikan nusyuz seorang suami adalah tidak menggaulinya dan tidak memberi hak istri.[6]  Adapun al-Ghazali dalam mendefinisikan nusyuz adalah tidak memenuhi hak dan tidak melaksanakan kewajiban, dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa nusyuz suami adalah suami yang tidak memenuhi hak istri dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami.[7]
Adapun kewajiban suami yaitu memberikan mahar, menafkahi istri, memperlakukan dengan baik, berlaku adil ketika istri lebih dari satu, dan lain-lain.
3.        MASYRU’IYAH
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
       “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. An-Nisa’: 128).
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa firman Allah tersebut mengabarkan mengenai keadaan sepasang suami istri, terkadang suami berpaling dari istri, terkadang juga keduanya saling cocok, dan juga terkadang berselisih. Ketika keadaan suami berpaling dari istri kemudian istri merasa takut jika suami tidak memberikan seluruh haknya atau sebagiannya seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal atau hak-hak lain maka diperbolehkan bagi istri untuk melakukan perdamaian.[8]
4.        INDIKASI SUAMI NUSYUZ
       Indikasi nusyuznya seorang suami dapat disimpulkan  dari definisi nusyuz diatas sebagai berikut:
a.                        Tidak memberikan nafkah
Nafkah secara bahasa bermakna segala yang diberikan seseorang kepada keluarganya. Nafkah dalam makna istilah adalah segala pemberian yang sesuai kemampuan baik dari makanan, pakaian dan tempat tinggal.[9]
Hak nafkah seorang istri ada tujuh yaitu makanan, lauk makanan, pakaian, alat kebersihan, perkakas rumah, tempat tinggal, pembantu apabila si istri membutuhkannya.[10]
Apabila seorang istri tidak mendapat nafkah dari suaminya maka istri dibolehkan untuk mengambil harta suami walaupun tanpa sepengetahuan suami berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Diriwayatkah oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radliallahu ‘Anha bahwasanya hindun mengadukan kepada Rasulullah rWahai Rasulullah, sesungguhnya Abu sufyan adalah laki-laki yang pelit dan dia tidak memberikan kepadaku sesuatu yang dapat mencukupiku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya”, maka Rasulullah r bersabda “ambillah sesuatu yang dapat mencukupimu serta anak-anakmu sesuai yang biasa ia berikan padamu.(H.R. Bukhari, no. 5364)[11]
Apabila seorang istri telah menjalankan kewajibannya dengan maksimal kemudian suami tidak memberikan nafkah maka Hanafiyah dalam hal ini merincikan jika suami seorang yang mampu yang memiliki harta yang melimpah maka seorang qadhi boleh memaksanya mengambil hartanya dan memberikannya pada istri, sedangkan jika suami mampu tetapi tidak memiliki harta maka qadhi boleh memenjarakannya sampai mau memberikan nafkah dengan syarat hal itu adalah permintaan istri. Dan apabila suami seorang yang miskin maka suami tidak dipenjara.[12]
b.             Tidak berlaku baik terhadap istri.
Kategori tidak berlaku baik terhadap istri diantaranya adalah memukul istri, dalam islam diperbolehkan suami memukul istri dengan syarat hal tersebut disebabkan nusyuznya istri apabila istri tidak nusyuz maka tidak diperkenankan untuk memukulnya, berdasarkan firman Allah:
وَعاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (Qs. An-Nisa’:19).
Ayat di atas Allah memerintahkan bagi laki-laki untuk berlaku baik kepada istrinya yaitu memberikan hak-haknya[13] termasuk juga berbicara dengan baik kepada istri sebagaimana telah dijelaskan Ar-Razi dalam tafsirnya.[14]
Dan berdasarkan hadits Nabi yang memerintahkan untuk berbuat baik terhadap istri. Dalam Sunan dan Musnad disebutkan, dari Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi bahwa ia berkata “Wahai Rasulullah r apakah hak istri atas suaminya?” beliau r menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan mencelanya, dan jangan pisah ranjang kecuali di dalam rumah( H.R. Abu Dawud, no. 2128)[15]
c.              Tidak memberikan tempat tinggal yang layak
Pada dasarnya hukum memberi tempat tinggal kepada istri adalah wajib, para fuqoha’ telah bersepakat atas hukum wajibnya memberi tempat tinggal kepada istrinya, mereka berdalil dengan firman Allah I:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu (Qs.. At-Thalaq: 6)
Ayat ini turun mengenai wanita yang ditalak raji, seorang suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istrinya[16], apalagi wanita yang masih dalam ikatan pernikahan, itu lebih utama.
d.             Tidak berlaku adil dalam pembagian malam istri-istrinya
Seorang laki-laki ketika memutuskan untuk berpoligami menunjukkan bahwa ia sanggup untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya, telah dijelaskan bahwa makna adil dalam surat an-Nisaa ayat 3 adalah keadilan dalam nafkah lahir dan bermalam dengan mereka bukan dalam kecintaan atau perasaan. Karena adil dalam kecintaan adalah suatu hal diluar kemampuan manusia, dan seorangpun tidak akan bisa sama perasaannya kepada satu dengan lain hingga Nabi sekalipun. Hal tersebut telah disebutkan dalam al-Quran:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
 Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. An-Nisaa: 129)
Sebagaimana Ibnu Abbas dan Ubaidah dalam menafsirkan أَنْ تَعْدِلُوا yaitu adil dalam kecintaan.[17]
Syaikh Shalih al-Fauzan berkata:Wajib bagi seorang suami untuk adil diantara istri-istrinya dalam nafkah, tempat tinggal, pakaian, pembagian malam. Seluruhnya harus adil diantara istri-istrinya baik kaya atau miskin karena semua istri berhak mendapat keadilan.[18]
5.        SIKAP ISTRI APABILA SUAMI NUSYUZ
Telah dijelaskan diatas mengenai beberapa indikasi nusyuz suami, ketika hal tersebut terjadi bagaimanakah seorang istri bersikap? Berdasarkan surat An-Nisaa ayat 128 tertera salah satu sikap istri ketika suami tidak memberikan hak-hak istri yaitu:
a.              Istri mengurangi sebagian hak suami
Seorang istri dibolehkan untuk mengurangi sebagian hak suami, perkara ini berdasarkan tafsir surat An-Nisaa ayat 128. Dalam tafsirnya Ath-Thabari menafsirkan      أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا  yaitu meninggalkan jatahnya bersama suami atau meninggalkan sebagian kewajibannya yang menjadi hak suami tetapi tetap berlaku baik padanya, karena meninggalkan sebagian haknya dengan tetap menghormatinya itu lebih menjaga sebuah akad pernikahan daripada harus meminta perpisahan atau talak.[19]
b.             Khulu’
Khulu’ adalah bencinya seorang istri kepada suaminya dan menginginkan perpisahan dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya.[20] Khulu’ menjadi salah satu solusi seorang istri dalam menghadapi suami yang nusyuz, hal ini menjadi pilihan ketika istri takut jika ia meneruskan rumah tangga tersebut akan membuatnya bermaksiat kepada Allah.
6.        PENUTUP
a.         Kesimpulan
Demikianlah makalah mengenai nusyuz suami, dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa nusyuz tidak hanya muncul dari seorang istri tetapi juga dari suami, nusyuznya suami secara umum adalah tidak memberikan hak seorang istri baik nafkah, pembagian malam apabila poligami dan lain sebagainya. Adapun sikap seorang istri terhadap nusyuznya seorang suami ialah si istri meninggalkan sebagian hak suami berdasarkan tafsir surat An-Nisaa ayat 128, dan meminta khulu’ ketika istri takut akan bermaksiat kepada Allah karena tidak melaksanakan tugas sebagai istri.
b.         Saran
Suatu hal yang lumrah jika suatu makalah memiliki banyak kesalahan karena yang sempurna hanyalah Allah semata. Maka penulis meminta maaf atas segala kesalahan yang terdapat di dalam makalah ini, dan berharap saran dari pembaca untuk meningkatkan kualitas makalah. Penulis juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi perjuangan islam.Wallahu a’lam bish shawwab.



[1]  Ibrahim Unais dkk..., al-Mujam al-Wasîth, (Kairo: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyah, 1425 H/
 2005 M) hlm. 922
[2]  Ahmad Warson Munawwir, Kamus arab-indonesia al- Munawwir,  edisi 2 ( Surabaya: Pustaka Progressif, t.t) hlm. 1419
[3] Mutashim Abdurrahman Muhammad Mansyur, Ahkam nusyuz az-zaujah fi asy-Syariah al-Islam (Palestina: t.p, 2007) hlm. 48
[4] Sayyid Sabiq, Al-Fiqh as-Sunnah, jilid 2(Kairo: Al-fathu lil alam lil arabi, t.t) hlm. 200
[5] Imam Abu Hafs Umar bin Ali bin Adil ad-Dimasyqi, Al-Lubab fi Ulumil Kitab, cet. Ke-1, jilid. 7,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), hlm.53
[6] Syaikh Muhammad as-Syinqithi, Adhwau al-Bayan fii Idhohi al-Quran bilQuran, jilid. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 241
[7] Al-Ghazali, Al-Wajiz fii Fiqh al-Imam asy-SyafiI, cet. Ke-1, jilid. 2,(Beirut: Dar Al-Arqam, 1997), hlm. 41
[8] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adhim, cet. Ke- 1, jilid. 4,(Jazirah: Mausuah Qurthubah, 2000),hlm. 298
[9] Wahbah az-Zuhaili, Mausuah al-Fiqh al-Islamiy wa Qadhaya al-Muashiroh, cet. Ke-1, jilid. 8, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2010), hlm. 723
[10] Syamsyudin al-Khatib as-Syarbini, Mughni Muhtaj ila Marifati Maani Alfadzi Minhaj, cet. Ke-1, jilid. 3, (Beirut: Dar al-Marifah, 1997), hlm. 559
[11] Imam Bukhari, Al-Jami as-Shahih, cet. Ke-1, jilid. 3, (Qahirah: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H/ 1980 M), hlm. 427
[12] Wahbah az-Zuhaili, Mausuah al-Fiqh al-Islamiy wa Qadhaya al-Muashiroh, cet. Ke-1, jilid. 8...hlm. 764-765
[13] Abu Jafar Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari Jami al-Bayan an Tawil Ayil Quran, cet. Ke-1, jilid. 6,(Jazirah: Dar Hajr, 2001), hlm. 538
[14] Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Fakhru ar-Razi, cet. Ke-1, jilid. 10, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 13
[15] Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-Adzim Abadi, Aunul Mabud, cet. Ke 2, jilid. 6, (Madinah: Muhammad Abdul Muhsin, 1968), hlm. 180
[16] Abu Jafar Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari Jami al-Bayan an Tawil Ayil Quran,..jilid. 7, hlm. 598-569.
[17] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahru al-Muhith, cet. Ke-1, jilid. 3, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1993), hlm. 380
[18] Shalih bin Fauzan bin Abdulllah al-Fauzan, Al-Muntaqi min Fatawa Fadhilah asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdulllah al-Fauzan, (ttp: t.p, t.t), hlm.1147 fatwa 221
[19] Abu Jafar Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari Jami al-Bayan an Tawil Ayil Quran,..jilid. 7, hlm. 548-549
[20] Musthafa al-Adawi, Jami Ahkam an-Nisaa, cet. Ke-1,  jilid. 4, (Qahirah: Dar Ibnu Affan, 1999), hlm. 153-154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar