ANTARA ILMU SYAR'I DAN MENIKAH

A.    PENDAHULUAN
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim, menuntut ilmu adalah suatu amal sholih yang memiliki banyak keutamaan. Menuntut ilmu dapat menghantarkan kita kepada kemuliaan, terlebih menuntut ilmu syar’i yang sangat dibutuhkan bagi setiap muslim, bagaimana kita beribadah kepada Allah jika tidak memiliki ilmu tentangnya. Di sisi lain, menikah adalah suatu sunnah Nabi yang membawa empunya kepada kehormatan karena terjaga dari kemaksiatan, menikah merupakan kebutuhan setiap manusia, karenanya seorang manusia dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya secara halal dan dengan menikah dapat terjaga keturunannya.
 Sebuah masalah muncul ketika seseorang dihadapkan diantara dua perkara ini, di satu sisi ia harus menuntut ilmu untuk kemaslahatan dien ini, tetapi disisi lain ia membutuhkan pernikahan demi menjaga kehormatannya, dan dilema datang mengharuskan memilih mana yang lebih utama dilaksanakan, karena hal ini penulis tergugah untuk menulis makalah ini dan memaparkan tentang pendapat ulama tentangnya.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian dan hukum.
a.       Ilmu syar’i
Ilmu secara etimologi adalah lawan kata dari kebodohan, yaitu mengetahui sesuatu dengan pasti. Sedangkan secara terminologi menurut sebagian ahli ilmu adalah pengetahuan lawan dari kebodohan, dan sebagian lain memaknai ilmu dengan  penjelasan seseorang yang mengetahui.[1]
Adapun syar’i secara etimologi jalan dan apa yang telah ditetapkan Allah,[2] sedangkan secara terminologi syar’i yaitu segala sesuatu yang Allah tetapkan bagi hambaNya berupa agama dan perintahNya yang harus diikuti.[3] Jika definisi masing-masing digabungkan maka definisi ilmu syar’i adalah ilmu yang menunjang syariat dan mempelajarinya adalah hal yang penting seperti belajar ilmu tafsir, dengannya kita dapat memahami tafsir yang benar dari ayat hukum dan tidak akan terjadi penyelewengan hukum di dalamnya.
Syaikh Utsaimin dalam kitabnya Kitabul Ilmi yang dimaksud ilmu syar’i adalah apa yang telah diturunkan Allah Ta’ala kepada rasul-rasulNya berupa bukti maupun petunjuk. Ilmu yang telah Allah puji adalah ilmu wahyu yaitu ilmu yant Allah turunkan, Nabi bersabda:
 من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Barangsiapa Allah menghendakinya kebaikan maka Allah akan faqihkan dia dalam dien”.[4]
Adapun Ibnu Hajar dalam mendefinisikan ilmu syar’i adalah ilmu agama yang wajib diketahui seorang mukalaf berupa ilmu ibadah, muamalah, dan ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya, dan segala ilmu yang menunjang untuk melaksanakan perintahNya dan mensucikanNya dari segala kekurangan.[5]
b.      Hukum menuntut ilmu syar’i
Hukum menuntut ilmu syar’i adalah fardhu, sebagaimana dalam hadits,
طلب العلم فريضة على كل مسلم...
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim,..” H.R Ibnu Majah.[6]
Makna ilmu dalam hadits di atas menurut al-Baidhowi adalah ilmu yang harus dipelajari setiap muslim seperti ilmu tentang keesaan Allah, nabi dan rasul Allah, dan tatacara sholat, belajar tentangnya hukumnya fardhu ‘ain.[7] Adapun fardhu kifayah mempelajari ilmu yang menunjang ilmu syar’i seperti ilmu ushul, hadits, tafsir, dan lain-lain.[8]
c.        Nikah
Al-Azhari berkata bahwa nikah dalam bahasa arab berarti bersenggama karena nikah adalah sebab dibolehkannya bersenggama, sedangkan menurut al-Jauhari nikah adalah bersenggama dan terkadang bermakna akad nikah.[9]
Definisi secara terminologi yaitu akad nikah yang menghalalkan persenggamaan dengan seorang wanita yang bukan termasuk wanita yang haram baginya untuk dinikahi baik dikarenakan nasab, persusuan, dan kekerabatan.[10]
d.      Hukum menikah
Keadaan seseorang mempengaruhi hukum menikah baginya, rinciannya sebagai berikut:
a.    Wajib menikah bagi seseorang apabila ia mampu menikah dan dirinya takut akan terjerumus kepada kebinasaan semisal perzinahan, sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud,
قال رسول الله :يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
                              “Rasulullah SAW, bersabda: Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah lebih menjaga pandangan dan lebih menjaga farj dan barangsiapa tidak mampu maka berpuasalah karena didalamnya terdapat  penekan hawa nafsu.” HR. Bukhori dan Muslim.[11]
                           Dalam hadits diatas terdapat anjuran menikah bagi mereka yang telah mampu menikah dan meninggalkan zina adalah kewajiban karena sesuatu menjadi wajib apabila ia menghantarkan kepada kewajiban. [12]
b.    Menikah hukumnya sunnah bagi ia yang mampu menikah dan dirinya aman dari melakukan larangan Allah Ta’ala, dan menikah lebih utama daripada membujang dan rahbaniyah[13] yang bukan termasuk dari ajaran islam.[14]
c.    Ketika ada seorang yang tidak mampu menafkahi atau ia tidak termasuk kategori al-ba’ah, dan tidak mampu melakukan kewajibannya sebagai suami maka dianjurkan baginya untuk berpuasa, dan hukum menikah baginya adalah haram sehingga ia mampu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami yaitu menafkahi.[15]
d.   Makruh menikah bagi mereka yang lemah dalam menunaikan kewajiban sebagai suami baik dari segi nafkah maupun batin, meskipun tidak membahayakan istrinya. Apabila ketidakmampuannya menunaikan kewajiban suami dikarenakan kesibukan dalam menuntut ilmu maka kemakruhannya bertambah.[16]
2.      Problema antara menikah dan ilmu syar’i
Uraian diatas telah menjelaskan hukum menikah dan hukum menuntut ilmu, masing-masing memiliki keutamaan dan ketika keduanya dihadapkan maka manakah yang lebih utama, dalam masalah ini berikut pendapat ulama,
a.    Syaikh Sholih Fauzan berpendapat apabila ditakutkan fitnah terjadi padanya maka wajib baginya menikah dan sebaliknya jika dirinya tidak takut akan fitnah maka menikah baginya suatu keanjuran.[17]
b.      Apabila hukum menikah wajib baginya dan disisi lain ia menikah tidak menghalangi belajarnya maka lebih baik dia menikah. Syaikh Utsaimin mengatakan dalam fatwanya ketika ditanya tentang ini, “Tidaklah menikah itu menghalangi untuk menuntut ilmu, bisa jadi menikah itu akan membantu dalam menuntut ilmu”.[18] Terlebih jika pasangannya dapat membantunya dalam menuntut ilmu.
c.       Syaikh Robi’ bin Hadi al Madkoli berkata dalam fatwanya ketika ditanya manakah yang lebih utama antara menuntut ilmu dan menikah, “Jika engkau mampu bersabar dan bisa terus belajar, maka bersabar itu lebih baik. Sebagaimana perkataan ‘Umar bin Al Khottob,
تعلموا قبل أن تسودوا
Tuntutlah ilmu  sebelum engkau menjadi orang mulia.”
Sebagian orang ada yang menunda nikah karena ingin sibuk belajar karena jika ia menikah akan meninggalkan menuntut ilmu hingga bersantai-santai dan akhirnya menyengsarakan dirinya. Namun jika engkau memiliki banyak waktu, maka engkau bisa menggabungkan kedua maslahat tersebut dan itu baik. Akan tetapi, barangsiapa yang menganggap bahwa ia bisa terjerumus dalam maksiat dan zina, maka Demi Allah! Lebih baik baginya untuk menikah agar bisa menjaga dirinya dari zina.”[19]
d.   Dalam Fatawa Lajnah ad-Daimah libuhutsi Ilmiyah wa Ifta’ menjelaskan pengutamaan antara menikah dan menuntut ilmu hukumnya berbeda sesuai perbedaan keadaan seseorang dalam menjaga kesuciannya dan kemampuannya dalam menahan dirinya, ketika dia mampu untuk menggabungkan antara keduanya dan tidak ada masalah dengannya, mengingat kebutuhan umat atasnya dan penjagaan dirinya, dan apabila dirinya tidak mampu untuk menggabungkan keduanya akan tetapi ia mampu menahan dirinya maka yang terbaik ia meneruskan menuntut ilmu karena bermanfaat baginya dan umat. Adapun ketika umat islam sangat membutuhkan ilmunya untuk membantu dalam menegakkan dien ini sedangkan ia tidak dapat menahan dirinya kecuali dengan menikah maka wajib bagi wali amri untuk membantunya dalam menggabungkan menikah dan menuntut ilmu sebagai penjagaan terhadap kehormatannya dan maslahat umat, dan membantunya dalam segala urusannya jika ia perlu bantuan.
Ketika seseorang tidak dapat menahan dirinya kecuali dengan menikah dan wali amri tidak membantunya dalam menyempurnakan belajarnya atau tidak membantunya dalam memenuhi kebutuhannya dalam menikah karena sibuk belajar maka lebih baik ia mencukupkan diri dari belajar walau ilmu itu sangat penting dengan pertimbangan yang baik. Dengan kata lain, sikap yang baik dalam masalah ini kembali kepada keadaan seseorang dan umat[20]
Pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengutamaan antara menuntut ilmu dan menikah kembali kepada keadaan seseorang dan kondisi umat ini sebagaimana yang telah dipaparkan. Penulis berpendapat sama dengan apa yang telah difatwakan dalam kitab Fatawa Lajnah ad-Daimah libuhutsi Ilmiyah wa Ifta’ karena fatwa ini menggabungkan antara dua dalil yang kuat, yaitu kewajiban menuntut ilmu dan anjuran bagi mereka yang mampu menikah.
 Adapun bagi mereka yang terkena hukum menikah sunnah atau sebagainya selain wajib, maka yang lebih utama tentu menuntut ilmu karena dengan ilmu itu lebih bermanfaat bagi umat dan apabila ia mampu untuk menggabungkan keduanya itu lebih baik. Wallahu a’lam bish showwab
3.        PENUTUP
a.       Kesimpulan
Ketika pilihan dihadapkan antara menuntut ilmu dan menikah, maka sikap terbaik adalah melihat kondisi diri, jika ia mampu menggabungkan itu lebih baik karena menikah pada aslinya bukanlah penghalang menuntut ilmu sedangkan jika ia tidak mampu maka menimbang mana yang lebih memberi maslahat pada dirinya dan umat. Wallahu a’lam bish showwab
b.      Saran
Makalah ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangan dalam penulisan maupun pemaparan sehingga penulis mengharap saran dari pembaca dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini.




[1] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Kitabul Ilmi, cet, ke-1, (Iskandariyah: Dar al-Aqidah, 2007), hlm. 5
[2] Ibrahim Musthofa dkk, Al-Mu’jamul wasith, cet, ke-2, (Qahirah: t.p, t.t) hlm. 505
[3] Wazarotul Auqof wa Su-unil Islamy, Mausuah Fiqhiyah, cet, ke-2, jilid. 26, (Kuwait: Dzat al-Salasil, 1983), hlm. 17
[4] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Kitabul Ilmi, cet, ke-1, (Iskandariyah: Dar al-Aqidah, 2007), hlm. 5
[5] Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shohih Bukhori, cet,ke-1, jilid. 1, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H), hlm. 141
[6] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, cet, ke-1, jilid. 1, (Beirut: Darul Jiil, 1998), hlm. 209
[7] As-Suyuthi, dkk, Syarh Sunan Ibnu Majah, cet, ke-1(Oman: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2007), hlm. 155
[8] Muhammad Mad’u biabdi Ro’fi al-Manawi, Faidhu al-Qodir Syarh al-Jami’ as-Shogir, cet, ke-2, jilid. 1, (Beirut: Darul Ma’rifah lithoba’ah wa Nasyr, 1972), hlm. 542
[9] Ibnu mandhur, Lisanul arab, jilid. 2 (Beirut: Dar Shodir, t.t), hlm. 626
[10] DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam wa Adilatuhu, cet, ke-10, jilid. 9, (Damaskus: Darul Fikr, 2007), hlm. 6513
[11] Yasir bin Ibrohim as-Salamah, al-Jam’u Baina Shohihaini bi riwayati Muslim, cet, ke-1, (Riyadh: Darul Wathon Linasyr, 1999), hlm. 226
[12] Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al-Azaziy, Tamamul Minnah, cet, ke-2, jilid. 3, (Iskandariyah: Darul Aqidah, 2009), hlm. 5-7
[13] Kependataan
[14] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet, ke-1, jilid.2, (Kairo: Darul Fath lii’lamil Arobiy, 2000), hlm. 11
[15] Ibid.
[16]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,,, hlm.12
[17] http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=51021, diakses 30 oktober 2015 pukul 11.52
[18] http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=168565, diakses 30 oktober 2015 pukul 11.55
[20] Ahmad bin Abdurrozaq ad-Duwaisi, Fatawa Lajnah ad-Daimah libuhutsi Ilmiyah wa Ifta’, cet, ke-5, jilid. 12, (Riyadh: Darul Muawid, 2003), hlm. 220

Hidup itu Ujian

Segala yang ada di dunia ini fana, yang abadi hanyalah Allah. 
Semua akan kembali kepada Allah dengan bekal masing-masing, banyak hadits Nabi Sallallahu 'Alihi Wassallam menjelaskan bahwa kita hambaNya di dunia ini ibarat seorang musafir yang singgah di suatu tempat hanya untuk beristirahat dan meneguk air untuk melanjutkan perjalanan. 
Kita hidup di dunia ini tak sekedar hanya menikmati segala yang Allah berikan, tetapi kita juga harus berbekal agar selamat ke tujuan akhir yaitu Akhirat, 
Tak lepas juga, untuk membedakan dan memilah hambaNya yang benar-benar beriman Allah memberikan ujian baginya..mungkinkah Allah membiarkan orang yang berkata "Aku beriman " tapi Allah tidak mengujinya???
Allah menjelaskannya dalam surat Al-Ankabut ayat 2-3, Allah maha Mengetahui mana hambaNya yang benar-benar mana hambaNya munafiq. Dalam sejarah islam ketika syariat jihad dikumandangkan terlihatlah mana orang munafiq, jihad merupakan ujian, dimana ia harus jauh dari keamanan, dunia, sanak saudara yang menyayanginya,,
Apa sikap seorang mukmin ketika ujian datang?? SABAR.. itu kuncinya, Allah pun memberikan pahala yang besar bagi mereka yang sabar, "Sesungguhnya ALLAH bersama orang-orang yang sabar."
Bergembiralah wahai yang diuji,,,jika kamu sabar, Jannah menunggumu..


secuplik motivasi untuk kita bersama

DR. Aidh al-Qarni dalam bukunya "LA TAHZAN" 

Yang Lalu Biar Berlalu

        Mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian bersedih atas nestapa dan kegagalan didalamnya merupakan tindakan bodoh dan gila. Itu, sama artinya dengan membunuh semangat, memupuskan tekad dan mengubur masa depan yang belum terjadi Bagi orang yang berpikir, berkas-berkas masa lalu akan dilipat dan tak pernah dilihat kembali. Cukup ditutup rapat-rapat, lalu disimpan dalam 'ruang' penglupaan, diikat dengan tali yang kuat dalam 'penjara' pengacuhan selamanya. Atau, diletakkan di dalam ruang gelap yang tak tertembus cahaya. Yang demikian, karena masa lalu telah berlalu dan habis. Kesedihan tak akan mampu mengembalikannya lagi, keresahan tak akan sanggup memperbaikinya kembali, kegundahan tidak akan mampu merubahnya menjadi terang, dan kegalauan tidak akan dapat menghidupkannya kembali, karena ia memang sudah tidak ada.

Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam. Selamatkan diri Anda dari bayangan masa lalu! Apakah Anda ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air mata ke dalam kelopak mata? Ingatlah, keterikatan Anda dengan masa lalu, keresahan Anda atas apa yang telah terjadi padanya, keterbakaran emosi jiwa Anda oleh api panasnya, dan kedekatan jiwa Anda pada pintunya, adalah kondisi yang sangat naif, ironis, memprihatinkan, dan sekaligus menakutkan.

Membaca kembali lembaran masa lalu hanya akan memupuskan masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga. Dalam al-Qur'an, setiap kali usai menerangkan kondisi suatu kaum dan apa saja yang telah mereka lakukan, Allah selalu mengatakan, "Itu adalah umat yang lalu." Begitulah, ketika suatu perkara habis, maka selesai pula urusannya. Dan tak ada gunanya mengurai kembali bangkai zaman dan memutar kembali roda sejarah.

Orang yang berusaha kembali ke masa lalu, adalah tak ubahnya orang yang menumbuk tepung, atau orang yang menggergaji serbuk kayu.

Syahdan, nenek moyang kita dahulu selalu mengingatkan orang yang meratapi masa lalunya demikian: "Janganlah engkau mengeluarkan mayat-mayat itu dari kuburnya." Dan konon, kata orang yang mengerti bahasa binatang, sekawanan binatang sering bertanya kepada seekor keledai begini, "Mengapa engkau tidak menarik gerobak?"

"Aku benci khayalan," jawab keledai.

Adalah bencana besar, manakala kita rela mengabaikan masa depan dan justru hanya disibukkan oleh masa lalu. Itu, sama halnya dengan kita mengabaikan istana-istana yang indah dengan sibuk meratapi puing-puing yang telah lapuk. Padahal, betapapun seluruh manusia dan jin bersatu untuk mengembalikan semua hal yang telah berlalu, niscaya mereka tidak akan pernah mampu. Sebab, yang demikian itu sudah mustahil pada asalnya.

        Orang yang berpikiran jernih tidak akan pernah melibat dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke depan, air akan mengalir ke depan, setiap kafilah akan berjalan ke depan, dan segala sesuatu bergerak maju ke depan. Maka itu, janganlah pernah melawan sunah kehidupan!
اُبْتُلِيْنَا بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا ،
وَابْتُلِيْنَا بِالسَّرَّاءِ فَلَمْ نَصْبِرْ

Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu 'anhu berkata: "Kami diuji dengan kesempitan, maka kamipun bersabar, dan ketika kami diuji dengan kelapangan justru kami tidak sabar." (Minhajul Qashidin, 272)
Kehidupan di dunia ini memang tak luput dari ujian, ujian dalam benak sebagian orang hanyalah ujian kesusahan tapi... tahukah kita??????
Ujian bukan hanya kesusahan, dalam keadaan lapangpun sebenarnya kita sedang diuji juga...
Jikalau dalam kesusahan kita diuji apakah kita bersabar atau tidak?? Maka dalam kelapangan kita diuji apakah kita bersyukur atau malah bertambah kufur?
Dalam perkataan sahabat Nabi Sallahualaihi wassalam diatas telah tertulis bahwa bersabar dalam kesusahan lebih mudah daripada bersabar dalam kelapangan, maksud bersabar dalam kelapangan ialah teruskah kita untuk selalu bersyukur dan tidak sombong atas kelapangan itu..
Dan telah tertera dalam al-Qur’an bahwa manusia itu diciptakan untuk diuji yang disisi lain juga untuk beribadah
Dalam surat al-Insan termaktub:
إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (٢)
 Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur  yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
Ketika dalam keadaan lapang terkadang kita lupa akan siapa yang telah memberikan semuanya, kita terbuai atas kenikmatan yang dirasa...dan terkadang pula kita membanggakan diri atas kenikmatan itu,,
Tapi ........ketika kesusahan melanda apa yang dia ingat??? Penyesalan yang datang menjadikannya mengingat bahwa Allah yang Maha Besar yang dapat menolongnya,,
Ketika berdo’a dia mengkhusyukkan diri agar do’anya terkabul.
Sungguh tak sangat sopan kita sebagai hambaNya...ibarat seseorang yang diberi makan saat ia kelaparan dan melupakan jasa pemberi ketika ia telah kenyang,,
Maka renungkanlah ..
apakah kita masih termasuk hambaNya yang tak tahu diri???