A. Pendahuluan
Talak
merupakan salah satu syariat Allah. Pelaksanaan talak tidak bisa serampangan
begitu saja, Allah telah mengatur segala yang berkaitan dengan talak. Salah
satu bentuk kasih sayang Allah terhadap hambaNya adalah menetapkan waktu talak
sesuai keadaan seorang hamba. Suatu masalah muncul ketika seorang istri tengah
mengalami haid kemudian suami menceraikannya, kita ketahui bersama bahwa wanita
ketika haid keadaannya sedang labil. Maka penulis memaparkan dalam makalah ini
apa pandangan islam tentang talak ketika istri haid, diperbolehkan atau tidak.
B. Definisi
Ibnu
Hajar mendefinisikan talak
secara bahasa adalah melepas ikatan, dan secara syar’i talak
adalah melepaskan ikatan pernikahan.[1]
Adapun
secara istilah talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan lafadz talak
atau semisalnya atau menghilangkan ikatan pernikahan baik keadaan (ketika talak
ba’in) atau harta (ketika selesai iddah talak raj’i) dengan lafadz khusus.[2]
Sedangkan
haid secara bahasa adalah aliran sedangkan secara istilah haid adalah
darah yang keluar dalam keadaan sehat dari pangkal rahim wanita tanpa sebab
persalinan, sakit, dalam waktu tertentu.[3]
C. Masyru’iyah
talak
Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ
رَبَّكُمْ
"Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.”(Q.S. Ath-Thalaq: 1).
Hadits
riwayat Umar bin Khattab berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
الله عَليْهِ وسَلَّمَ طَلَّقَ حَفْصَةَ ، ثُمَّ رَاجَعَهَا
“Bahwa
Rasulullah ﷺ
telah menceraikan Hafshoh kemudian merujuknya kembali.”(H.R. Ibnu Majah, no 2016).
D.
Macam talak
Ibnu Katsir menjelaskan, “Para ulama berkata bahwa talak yang
sesuai sunnah adalah mentalak istrinya ketika suci dari haid sebelum digauli,
atau istri hamil yang jelas kehamilannya. Adapun talak bid’ah adalah mentalak
istri ketika haid atau suci tetapi telah digauli, dan tidak diketahui hamil
atau tidak. Adapun yang ketiga adalah talak yang tidak termasuk sunnah atau
bid’ah yaitu mentalak istri yang masih kecil, istri yang telah menopause dan
istri yang belum digauli.[4]
Abdul Malik Kamal dalam kitabnya Shahih Fiqih Sunnah memperinci
sebagai berikut:
1.
Talak sunnah
Definisi sunnah disini bukanlah talak yang
disunnahkan tetapi talak yang sesuai syariat dalam pelaksanaannya.adapun talak
sunnah
yaitu:
a.
Talak ketika istri dalam keadaan suci atau
nifas sebelum digauli.
b.
Talak ketika istri yang telah jelas
kehamilannya.
c.
Talak ketika istri tidak dalam keadaan
haid.
2.
Talak bid’ah
Talak bid’ah yaitu talak yang menyelisihi syariat. Seperti
mentalak istri ketika haid atau suci tetapi telah digauli karenanya tidak
diketahui istrinya hamil atau tidak,
mentalak dengan talak tiga dalam satu ungkapan atau tiga ungkapan.[5]
E.
Talak ketika istri haid
Adapun talak
dalam keadaan haid merupakan talak yang diharamkan ulama sepakat akan
keharamannya. Ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya talak atau tidak, berikut rinciannya:
a.
Jatuhnya
talak
Inilah pendapat ahli ilmu dan ulama empat
mazhab[6] berdasarkan hadits Ibnu Umar yang mentalak istrinya dalam haid kemudian Umar bin
Khattab bertanya kepada Rasulullah ﷺ, kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ
شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ
الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan ia merujuknya kemudian jauhkan istrinya hingga suci
kemudian haid kemdian suci lagi, kemudian jika ia menghendaki untuk merujuknya
maka rujuklah, jika ia menghendaki talak maka talaklah sebelum ia sentuh.
Sesungguhnya itu iddah yang diperintahkan Allah ketika wanita ditalak.”(H.R.
Bukhari dan Muslim)[7]
Adapun rujuk tidak akan terjadi kecuali setelah jatuhnya talak.
b.
Tidak
jatuh talak
Inilah pendapat Thawus, Ikrimah, Muhammad bin Ishaq dan ahli
Dhahir: Dawud, Ibnu Hazm, dan ini pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim[8]
Dalil mereka berdasarkan hadits dari Abu Zabir bahwa ia telah
mendengar Abdurrahman bin Aiman maula Urwah bertanya kepada Ibnu Umar:”
Bagaimana pendapatmu jika terdapat laki-laki yang mentalak istrinya yang
haid?”, Ibnu Umar menjawab:”Ibnu mar pernah mentalak istrinya yang haid di masa
Rasulullah ﷺ kemudian Umar bertanya pada
Rasulullah ﷺ :” Bahwa Abdullah bin
Umar telah mentalak istrinya yang haid.” Maka Abdullah bin Umar berkata:”Kemudian
ia kembali kepada istri dan terlihat seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Dan berkata:”Apabila istri telah suci maka talaklah atau rujuklah.”(H.R. Abu
Dawud, no. 2185)[9]
F.
Rujuk ketika
talak dalam keadaan haid
Ketika seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid maka
suami dianjurkan untuk merujuknya, dan menunggu hingga suci kemudian haid kemudian
suci lagi, di masa ini sebelum digauli suami boleh memilih antara mentalak atau
mempertahankan istri.
Adapun
rujuk ketika talak dalam keadaan haid ulama berbeda pendapat dalam kewajibannya[10], diantaranya:
1.
Malik
dan pengikutnya,
salah satu pendapat yang masyhur di kalangan Ahmad, penulis Al-Hidayah
dari kalangan Hanafiyah mewajibkan rujuk tersebut.
2.
Rujuknya sunnah inilah pendapat Syafi’I, al-Auza’i,
Abu Hanifah, Ahlu Kuffah, Ahmad, dan ulama hadits.
G. Hikmah
diharamkannya talak ketika istri sedang haid
Telah dipaparkan diatas bahwa ulama sepakat bahwa seorang suami
diharamkan talak ketika istri sedang haid apabila telah terjadi dianjurkan
untuk rujuk, dibalik keharamannya dan perintah rujuk terdapat hikmah yang
terkandung, diantaranya:
1.
Ditakutkan
istri hamil, dan terjadi penyesalan bagi suaminya atau keduanya. Kehamilan
istri dapat menimbulkan kebahagiaan keluarga setelah adanya perpecahan.[11]
2.
Menjaga
mental seorang wanita, karena wanita dalam keadaan haid emosinya labil, Allah
menganjurkan suami ketika mentalak istrinya di waktu-waktu istri dapat
menghadapi iddah dengan wajar, berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ
رَبَّكُمْ
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.”(Q.S. Ath-Thalaq: 1)
3.
Perintah
rujuk ini mengandung hikmah agar iddah seorang wanita tidak terlalu panjang.
Adapun konsekuensi dari perbedaan
pendapat tentang jatuhnya talak atau tidak, jika talak ketika istri dalam
keadaan haid terhitung satu talak maka kesempatan suami hanya tersisa satu
talak raj’i yang
dapat dirujuk, dan apabila talak ketika istri haid ternyata adalah talak ketiga
maka ketika maka talak
menjadi ba’in selesai masa iddah istri telah halal
dinikahi orang lain.[12] Dan
sebaliknya ketika talak tidak terhitung jika talak tersebut adalah talak ketiga
maka suami merujuknya dan tidak halal orang lain menikahi istrinya hingga suci
kedua setelah suami memutuskan akan menceraikannya.Wallahu A’lam bish
Shawwab
H. Penutup
1. Kesimpulan
Kesimpulan dari pemaparan diatas bahwa talak ketika istri dalam keadaan
haid diharamkan, dan jatuhnya talak walau terdapat perintah rujuk, hal ini
dikarenakan agar manusia tidak mempermainkan kata talak. Adapun perintah rujuk
adalah sunnah kembali kepada keputusan suami, jika ia telah matang keputusannya
maka tidak perlu merujuknya, jika belum maka ia dapat merujuknya dan memulai
kembali rumah tangga yang hampir runtuh.
2. Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, tak ada gading yang tak retak.
Penulis memohon maaf atas segala kesalahan yang terdapat dalam penulisan atau
pemaparan. Berharap pembaca memberikan saran yang membangun makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisy Syarhi
Shahih Bukhari, (Qahirah: Darul Hadits, 2004), jilid. 9
Abu Malik Kamal bin Sayyid as-Salim, Shahih Fiqh
as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002), jilid. 3
Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, cet. ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), jilid 1
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim, (ttp:
Maktabah at-Taufiqiyah, t.t ), jilid. 8
Syamsudin
as-Sirkhosi, Al-Mabsuth, (Beirut: Darul Ma’rifah,t.t), jilid.
6
Abu Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
Lidardiri, Asy-Syarhu as-Shaghir, (Qahirah: Darul Ma’arif, t.t), jilid.
2
Ibnu Qudamah,
Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Hiraqi, (Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub, t.t),
jilid.10, hlm. 337.
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa LiIbnu Taimiyah,
(Qahirah: Darul Hadits, 2006), jilid. 17
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, cet. Ke-1,
(Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1997), jilid. 2
Imam an-Nawawi, Shahih Muslim bisy Syarhi Imam
an-Nawawi, cet. Ke-4, (Qahirah: Darul Hadits, 2001), jilid. 5
Imam
asy-Syaukani, Nailul Authar,(Qahirah: Darul Hadits, 2005), jilid. 3
Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Basam, Taisirul
‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, cet. Ke-1,(Riyadh: Darul Maiman, 2005), jilid. 2
[1] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul
Bari bisy Syarhi Shahih Bukhari, (Qahirah: Darul Hadits, 2004), jilid. 9,
hlm. 396
[2] Abu Malik Kamal bin Sayyid
as-Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002),
jilid. 3, hlm. 232
[3] Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, cet. ke-2,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985),
jilid 1, hlm. 610
[5] Abu Malik Kamal bin Sayyid
as-Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002),
jilid. 3, hlm. 296
[6] Ibid. Syamsudin
as-Sirkhosi, Al-Mabsuth,
(Beirut: Darul Ma’rifah,t.t), jilid. 6, hlm. 57.
Abu Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Lidardiri, Asy-Syarhu as-Shaghir,
(Qahirah: Darul Ma’arif, t.t), jilid.
2, hlm. 538. Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Hiraqi,
(Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub, t.t), jilid.10, hlm. 337.
[7] Ibnu Hajar al-‘Asqalani,
Fathul Bari bisy Syarhi Shahih Bukhari, (Qahirah: Darul Hadits, 2004),
jilid. 9, hlm. 397
[8] Abu Malik Kamal bin Sayyid
as-Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Qahirah: Maktabah Taufiqiyah, 2002), jilid.
3, hlm. 298, Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa LiIbnu Taimiyah, (Qahirah:
Darul Hadits, 2006), jilid. 17, hlm. 63
[10] Imam an-Nawawi, Shahih Muslim
bisy Syarhi Imam an-Nawawi, cet. Ke-4, (Qahirah: Darul Hadits, 2001),
jilid. 5, hlm. 323. Imam asy-Syaukani, Nailul Authar,(Qahirah: Darul
Hadits, 2005), jilid. 3, hlm. 612
[11]
Abdullah bin Abdurrahman
bin Shalih Alu Basam, Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, cet.
Ke-1,(Riyadh: Darul Maiman, 2005), jilid. 2, hlm. 250